Tribun Pekanbaru, Agustus 2013 |
MUSIM panas di California, khususnya di San Francisco dan sekitarnya, berbeda dengan musim kemarau di Indonesia. Labelnya memang musim panas, tapi suhu udaranya tergolong dingin bagi orang Indonesia.
Pada siang hari, meski matahari bersinar terang, angin bertiup lumayan kencang dengan suhu sekitar 20-22 derajat celcius. Kemana-mana masih harus pakai jaket. Pada malam hari, suhunya berkisar 12 derajat celcius. Puasa terasa makin menantang di tengah deraan hawa dingin. Perut mudah terasa lapar, tentunya.
Selama bulan puasa di musim panas, umat muslim di California harus menahan lapar dan dahaga selama kurang lebih 16 jam. Waktu Subuh dimulai sekitar pukul 4.30 pagi dan matahari baru beringsut tenggelam sekitar pukul 8.30 malam. Ya, 8.30 malam! Anda bisa membayangkan, pukul 7 malam di sini mirip seperti pukul 5 sore di Pekanbaru. Disebutnya memang malam hari, tapi di luar rumah matahari masih bersinar terang.
Salat Tarawih berjamaah di masjid baru dimulai sekitar pukul 10.30 malam dan baru berakhir menjelang tengah malam. Tak heran jika terkadang kita harus bertarung dengan rasa kantuk ketika menunaikan ibadah tersebut. Setiap malam selama bulan Ramadan, praktis kesempatan untuk tidur hanya 3-4 jam sebelum bangun lagi untuk makan sahur. Sebab, bagi pegawai kantoran, pukul 6 pagi sudah harus mulai berbenah diri untuk berangkat kerja.
Letih? Tentu saja. Tapi, dengan situasi seperti itu lah kita bisa belajar untuk lebih memaknai kekuatan dari sebuah niat. Jika sejak awal sudah lillahi ta’ala, Insha Allah kita mampu menuntaskan puasa hingga akhir bulan Ramadan.
Jumlah umat muslim di sini berkisar 3 jutaan, atau sekitar 0,8 persen dari total jumlah penduduk di Negeri Paman Sam. Dan California merupakan negara bagian yang memiliki jumlah masjid terbanyak kedua setelah New York, yakni 246 buah. Total jumlah masjid di AS diperkirakan lebih dari 2.100 buah.
Di kota tempat saya tinggal, San Ramon, yang berjarak sekitar 45 menit dari San Francisco, memiliki pusat kegiatan agama Islam yang bernama San Ramon Valley Islamic Center (SRVIC). Lokasinya berada di tengah-tengah kompleks perkantoran di Jalan Camino Ramon. Tidak mudah untuk mengenali ada masjid di lokasi tersebut. Pada kunjungan pertama, saya gagal menemukannya. Bentuk bangunannya sangat mirip dengan perkantoran di sekitarnya.
Lembaga ini bersifat nonprofit yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, budaya, sosial, dan kegiatan amal bagi umat muslim yang tinggal di San Ramon dan kota lain di sekitarnya. SRVIC berdiri sejak 21 tahun silam dengan jumlah anggota waktu itu hanya 20 keluarga. Jumlahnya sekarang meningkat menjadi lebih dari 400 keluarga.
Sebagian besar di antara mereka berasal dari Timur Tengah. Kendati demikian, ceramah-ceramah yang disampaikan tetap menggunakan bahasa Inggris karena jamaah yang hadir sudah merupakan generasi kedua atau ketiga yang lahir dan besar di AS.
Bagi warga Indonesia yang harus tinggal jauh dari sanak-saudara ketika menjalani bulan Ramadan dan Lebaran tentu terasa lain. Ada rasa kangen. Kangen dengan keriuhan bagaimana kita berburu belanja ta’jil menjelang buka puasa, kangen kemacetan suasana mudik, maupun kangen sajian kue-kue Lebaran yang menghangatkan suasana Idul Fitri.
Kerinduan itu sedikit terobati berkat kehadiran para kolega saya asal Indonesia yang tinggal di kota yang sama. Selama Ramadan, kami mengadakan kegiatan bedah buku keagamaan sambil berbuka puasa bersama. Lokasinya pindah-pindah, dari satu rumah ke rumah kolega yang lainnya.
Kami ada enam keluarga. Kalau ngumpul bareng seluruh anggota keluarga, termasuk suami atau istri dan anak-anak, jumlahnya bisa mencapai sekitar 30 orang. Kami menyebutnya sebagai “Kampung San Ramon”.
Seperti halnya kampung di Indonesia, kami memiliki “Lurah”. Itu sebutan untuk koordinator kegiatan-kegiatan kami untuk menjadi tali silaturahmi. Saat Lebaran, kami juga mengundang beberapa keluarga kolega lainnya dari Indonesia yang non-muslim. Jadinya makin ramai. ’’Mereka inilah yang menjadi keluarga besar kami selama di perantauan agar tetap bisa merasakan kehangatan suasana layaknya di Indonesia,’’ ucap Eri Budi Shidartha, alumnus ITB yang tinggal di San Ramon sejak tahun lalu.
Warga Indonesia yang tinggal di kawasan sekitar San Francisco, atau yang dikenal dengan istilah Bay Area, kebanyakan menunaikan Salat Ied di lokasi yang ditentukan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) selaku penyelenggara. Dalam beberapa tahun terakhir, Salat Ied dilaksanakan di Fort Mason Center, San Francisco. KJRI menyewa salah satu ruangan di sana yang mampu menampung sekitar 400 jamaah.
Pada Salat Ied, Kamis, 8 Agustus lalu, jamaah yang hadir cukup beragam. Ada warga Indonesia yang baru beberapa tahun tinggal di AS maupun yang sudah puluhan tahun. Ada juga warga negara lain yang memiliki suami atau istri orang Indonesia dan memilih bergabung Salat Ied bersama di lokasi tersebut. Salat Ied dimulai pukul 10.00 pagi.
Fort Mason Center memang cocok dipilih sebagai lokasi untuk salat. Halaman parkirnya cukup luas dan mampu menampung lebih dari 200 mobil. Di San Francisco, parkir juga menjadi pertimbangan penting untuk menghindari kemacetan. Sebab, jalan di kota tersebut mayoritas sempit dan berbukit-bukit.
Fort Mason Center dulunya merupakan basis militer. Lokasinya tepat di pinggir perairan teluk di San Francisco. Dari lokasi ini, kita bisa melihat jembatan Golden Gate yang terkenal itu maupun sebuah pulau di mana Penjara Alcatraz yang legendaris itu berada. Penjara Alcatraz identik dengan nama gangster Al Capone yang pernah mendekam di sana.
Angkatan Darat AS menggunakan Fort Mason sebagai markas militer selama lebih dari satu abad, dimulai sejak 1860-an. Saat ini, tempat tersebut diubah menjadi pusat seni dan budaya, serta kantor beberapa organisasi nonprofit. Di situ ada galeri seni, museum, serta ruangan-ruangan yang disewakan untuk berbagai kegiatan publik lainnya. Mayoritas gedung di kompleks Fort Mason Center masih mempertahankan bentuk aslinya karena menjadi bagian dari cagar budaya.
Setelah Salat Ied, warga Indonesia berbondong-bondong menuju Wisma KJRI yang lokasinya tidak jauh dari Fort Mason Center. Pihak KJRI mengadakan acara open house dengan mengundang warga Indonesia, baik itu yang muslim maupun non-muslim, untuk saling bersilaturahmi pada hari Idul Fitri. Tampak juga hadir perwakilan dari negara-negara sahabat yang ingin saling berbagi kebahagiaan di hari kemenangan.
Menu yang dihidangkan juga sangat Indonesia. Ada ketupat, rendang, opor ayam, serta kerupuk. Dan, yang tak lupa pula adalah sambal merah yang pedas. Hmmmm… (*)
No comments:
Post a Comment