Alex Sheen ketika tampil sebagai pembicara dalam sebuah acara di kantor tempat saya bekerja. (PHOTO BY: OKTA HERI FANDI) |
ANDA ingin dikenang sebagai apa oleh anak Anda kelak? Demi mengenang ayahnya, seorang manajer muda Alex Sheen, 29, rela menanggalkan jabatannya di sebuah perusahaan software di Ohio, AS. Ayahnya meninggal dua tahun lalu akibat kanker paru-paru stadium empat.
Alex memilih fokus pada gerakan sosial yang diprakarsainya: ‘Because I Said I Would’ yang kini telah menjalar ke 105 negara. Apa yang isitimewa dari sosok ayahnya? ’’Dia selalu menepati janji dan mengerjakan apa yang diucapkannya,’’ ucap Alex.
’’Ayah saya hanya orang biasa yang selalu berupaya memegang teguh janji dan mengerjakan apa yang sudah diucapkannya. Sesederhana itu,’’ ungkap Alex ketika tampil sebagai pembicara tamu sebuah acara yang dihelat kantor tempat saya bekerja beberapa waktu lalu. Dia tampil di hadapan ratusan orang yang sebagian besar berusia jauh di atas dirinya.
Alex menceritakan sosok ayahnya dari kacamata dirinya sebagai seorang anak. Dari hal yang paling kecil, “Kalau ayah saya mengatakan akan hadir di acara sekolah saya pukul 7, tebak siapa yang ada di barisan terdepan di antara kerumunan pada pukul 6.59?’’ Dengan bangga Alex mengatakan: “Ayah saya!”
Pun ketika berjanji untuk mengerjakan sesuatu, ayahnya akan memenuhinya tanpa alasan. ’’Itulah ayah saya!” sambung Alex yang lantas terdiam beberapa saat. Matanya memandang sekeliling ruangan, ke arah orang-orang yang hadir. Suasana pun menjadi senyap.
Ucapan itu Alex serasa menjadi pembuka mata semua yang hadir bahwa anak-anak kita akan merekam segala perilaku dan ucapan kita selama berinteraksi dengan mereka. Sering kita terlalu mudah mengucapkan janji kepada anak-anak kita hanya untuk menyenangkan mereka sesaat. Biar tidak rewel. Biar tidak merengek terus. (jadi malu kalau berkaca pada diri sendiri hehe…)
PHOTO BY: OKTA FANDI |
4 September 2012. Malam hari ketika ayahnya meninggal, Alex menemani di samping tempat tidur. ’’Saya mendampinginya hingga hembusan nafas terakhirnya.’’ Ayahnya meninggal setelah 14 bulan menjalani terapi kanker yang dideritanya.
Pada acara pemakaman ayahnya, Alex membawa sebuah kartu yang bertuliskan ‘Because I Said I Would’ dengan latar belakang sebagian besar warna putih. Itulah “kartu janji” yang dibikin Alex untuk mengenang ayahnya. Dia akan menuliskan janji kebaikan yang ingin dilakukannya dan berupaya keras untuk memenuhinya. Sebuah etos yang dijunjung tinggi oleh ayahnya semasa hidup.
Alex lantas memperkenalkan gerakan sosial ‘Because I Said I Would’ yang digagasnya ini melalui media-media sosial. Dari situ semakin banyak orang yang meminta dikirimkan ‘Because I Said I Would’. Mereka berasal dari berbagai negara. Awalnya hanya 50 kartu, bertambah menjadi 500, 5.000, 50.000, terus 500.000 hingga mencapai 1,27 juta kartu yang telah dia sebar ke berbagai negara dalam kurun 18 bulan. Setiap orang rata-rata diberi 10 kartu.
Gerakan ‘Because I Said I Would’ pun menjadi viral dan menarik perhatian media-media nasional di AS. Orang-orang mulai ramai memposting ‘kartu janji’-nya dan menceritakan upaya mereka dalam memenuhi janji tersebut.
Inilah sebuah gerakan sosial yang mengingatkan kembali bahwa janji bukanlah sekadar ucapan tanpa makna. Janji itu harus ditepati. ’’Saya ingin menggugah kembali arti penting sebuah janji dan menggunakannya untuk membantu orang lain sehingga kita menjadi manusia yang lebih baik. Memanusiakan kembali manusia,’’ tutur Alex, lulusan Ohio University pada 2007.
Alex sendiri memulai dari hal-hal yang sederhana. Misalnya, bekerja sukarela di tempat pengiriman barang untuk tanggap bencana, di tempat penampungan binatang, atau menjadi water boy dalam ajang balap sepeda. “Start small (mulai dari yang kecil),’’ cetusnya. Dia menuliskan janjinya di atas kartu , dan memberikan kartu itu kepada orang yang dia berikan janji. ’’Sembari saya mengatakan: saya akan ambil kembali kartu ini karena saya akan memenuhi janji saya untuk Anda,’’ ucap Alex.
Foto ilustrasi diambil dari "Because I Said I Would" |
Dia pernah berhasil memenuhi janjinya kepada anak-anak penderita kanker untuk mencarikan 100 tiket masuk ke Disneyland. Dia juga pernah berjalan kaki sejauh 394 km, melintasi negara bagian Ohio selama 10 hari. Dia ingin memenuhi janjinya kepada tiga korban kekerasan seksual untuk menumbuhkan empati masyarakat terhadap para korban.
Hingga akhirnya, datang selembar surat yang mampir di meja kerjanya di kantor. Surat itulah yang mengubah haluan hidup Alex. Hingga dia memutuskan untuk meninggalkan jabatannya sebagai manajer. Dia ingin fokus pada gerakan ‘Because I Said I Would’ yang telah diprakarsainya.
Surat yang mampir di meja kerjanya itu ditulis tanpa nama. Suratnya juga tidak dikirim melalui pos. Dari bentuk tulisan dan gaya bahasa, surat itu ditulis oleh anak-anak. Isinya kurang lebih, si pengirim surat menuturkan bahwa dirinya sangat terinspirasi dengan gerakan ‘Because I Said I Would’.
Si pengirim surat berterima kasih karena gerakan sosial yang digagas Alex telah mengembalikan kepercayaan diri dan semangat hidupnya. ’’Saya sempat berniat untuk bunuh diri. Hidup ini ternyata terlalu berarti untuk disia-siakan,’’ tulis si pengirim surat.
Alex pun terharu. Dia menangis dengan surat itu di tangannya. Dia serasa tersadar bahwa gerakan ‘Because I Said I Would’ telah mempengaruhi hidup orang lain. Alex lantas membawa surat itu ke ruangan bosnya. Dia ingin menunjukkan surat anonim tersebut.
Namun, betapa kagetnya dia ketika atasannya berkata,’’Alex, saya mengenal bentuk tulisan seperti ini. Ini tulisan anak saya. Amplop ini juga model amplop yang ada di rumah saya.’’ Atasan Alex pun menceritakan, anaknya sedang mengalami depresi. Usianya baru 14 tahun. Berbagai terapi sudah ditempuh, tapi belum juga berhasil. Hingga akhirnya gerakan moral ‘Because I Said I Would’ menyelamatkannya.
Alex kini lepas dari dunia korporasi. Kemana-mana dia lebih sering mengenakan t-shirt hitam bertuliskan ‘Because I Said I Would’ dan lekat dengan sepatu kets-nya. Sangat casual. “Saya tidak harus lagi kemana-mana memakai baju rapi,’’ selorohnya yang disambut tawa hadirin.
Gerakan sosial Alex juga pernah “menginspirasi’’ seorang pelaku tabrak lari untuk menyerahkan diri. Korban yang ditabraknya meninggal. Setelah sekian lama, si pelaku tiba-tiba menghubungi Alex dan menceritakan “dosa” yang telah dilakukannya. Dia berjanji akan menyerahkan diri. ’’Dan memang itulah yang akhirnya dia lakukan. Menyerahkan diri dan diproses secara hukum,’’ papar Alex.
Ada satu perkataan Alex yang patut direnungkan untuk selalu menjadi pribadi yang optimistis. Terus move on, bahasa anak-anak zaman sekarang.
Dia ingin mengenang bagaimana ayahnya menjalani hidup. Bagaimana ayahnya selalu menepati janji yang diucapkannya, termasuk kepada anak-anaknya. ’’Bukan tentang bagaimana ayah saya menjalani hari-harinya untuk terapi kanker hingga ajal menjemput.” (okta heri fandi)
No comments:
Post a Comment