Sunday, November 2, 2014

Booming Energi AS dan Anomali Harga Minyak


Jawa Pos, 1 November 2014
LEVEL sensitivitas harga minyak dunia terhadap dinamika di Timur Tengah sudah berubah. Harganya tidak lagi serta-merta meroket ketika situasi di kawasan kaya minyak tersebut memanas. Polanya berbeda dibandingkan era Perang Teluk (1990-91), Perang Iran-Irak (1980), Revolusi Iran (1978-79) maupun embargo minyak Perang Arab-Israel (1973-74).

Awal Oktober ini, Dana Moneter Internasional (IMF) sempat khawatir harga akan naik menyusul perkembangan di sentra penghasil minyak seperti Irak, Syria, maupun Libya. Ditambah lagi, ketegangan Rusia-Ukraina dan aksi kelompok militan di Nigeria. Ketegangan geopolitik dikhawatirkan mengganggu alur pasokan emas hitam sebagai sumber utama energi dunia.

Namun, kenyataannya harga minyak malah berbalik arah menuju titik terendah dalam empat tahun terakhir. Anjlok sekitar 25 persen jika dibandingkan Juni lalu. Anomali ini banyak dibahas baik dari kacamata studi hubungan internasional maupun kisah revolusi teknologi yang sedang terjadi di dunia perminyakan.

Dunia saat ini sedang kebanjiran pasokan minyak. Di tengah kelesuan ekonomi Eropa dan China, permintaan pasar AS terhadap minyak internasional juga jauh berkurang. Sebagai konsumen terbesar di dunia, impor AS dari anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) tinggal 50 persen dibandingkan sebelumnya. Bahkan sejak Juli lalu, Negeri Paman Sam tidak lagi mengimpor minyak dari Nigeria yang menyuplai lebih dari 1 juta barrel per hari (bph)  pada 2010. Walhasil, minyak dari Timur Tengah dan Nigeria harus perang harga di pasar Asia.

Beberapa anggota OPEC meminta pertemuan darurat. Opsinya adalah penurunan produksi secara kolektif agar harga kembali stabil. Namun, Arab Saudi sebagai penghasil terbesar di antara anggota OPEC tampaknya enggan kendari tren harga menurun. Di luar OPEC, Rusia juga cemas lantaran sangat bergantung pada penjualan minyak.

Berkaca pada sejarah, Saudi tidak ingin mengulang kesalahan era 1980-an. Ketika harga turun, mereka mengurangi produksi hingga 75 persen. Harga minyak memang kembali merangkak naik, tapi pendapatan dan pangsa pasar Saudi tergerus. Suplai mereka ke AS waktu itu tinggal 74 ribu bph dari sebelumnya 1,5 juta bph.

Selain Saudi, produsen utama lainnya Kuwait dan Uni Emirat Arab enggan menurunkan produksi. Masalah ini menjadi agenda utama pertemuan OPEC di Wina, 27 November mendatang. OPEC mengontrol sepertiga (sekitar 30 juta bph) suplai minyak dunia.

Tidak hanya sisi permintaan, saat ini juga terjadi lonjakan pasokan. AS mengalami booming produksi migas dan disebut-sebut tengah memasuki era kebangkitan energi (energy renaissance). Produksi minyak AS mencapai angka tertinggi dalam 28 tahun terakhir.

Bahkan, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan produksi minyak AS segera melampaui Saudi yang menyandang status penghasil terbesar dalam dua dekade terakhir. Dua tahun lalu, AS menggeser Rusia sebagai produsen terbesar gas.

Dalam enam tahun terakhir, produksi minyak AS melonjak sekitar 60 persen. Sejak September tahun lalu, untuk  pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir mereka mampu memproduksi minyak lebih banyak dibandingkan angka impor. Ketergantungan pasokan luar negeri pun terus menurun.

Booming produksi di AS terjadi berkat penerapan teknologi rekah hidrolik (hydraulic fracturing) dan pengeboran horizontal (horizontal drilling). Terobosan itu mampu memproduksikan potensi migas nonkonvensional, seperti tight oil dan shale gas, dari lapisan bebatuan.

Perkembangan ini tentu dalam pantauan Saudi yang 85 persen ekspornya berasal dari minyak. Bukan semata pangsa pasar, mereka berharap penurunan harga minyak dapat mengerem agresivitas laju produksi AS. Jika harga terus anjlok, biaya produksi menjadi lebih mahal sehingga menjadi tidak ekonomis. Saat ini AS masih membatasi ekspor minyak mentah menyusul embargo minyak Arab empat dekade silam. 

Pergeseran lanskap sumber dan pasar minyak dunia tentu mempengaruhi perilaku, asumsi, dan kebijakan berbagai negara. OPEC tidak bisa lagi leluasa memainkan arah pendulum harga minyak. Sedangkan AS bisa sedikit lega seiring terus menurunnya ketergantungan terhadap minyak internasional. Pada 1973, perekonomian AS pernah terganggu embargo minyak Arab seiring ampuhnya minyak sebagai alat ekonomi dan politik.

Bagi negara-negara yang memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM), anjloknya harga minyak menjadi momentum untuk mengurangi beban anggaran. Bisa berupa pengurangan ataupun penghapusan subsidi untuk dialihkan ke sektor yang produktif. India, misalnya, dua pekan lalu PM Narendra Modi mengatakan segera mencabut subsidi diesel dan menaikkan harga gas. Dampaknya diharapkan lebih moderat ketika harga minyak rendah.

Terkait migas nonkonvensional, kisah kebangkitan energi AS dapat menjadi pelecut semangat. Untuk shale gas, misalnya, Indonesia diperkirakan memiliki cadangan 574 trillion cubic feet (tcf) atau hampir empat kali lipat dibandingkan gas konvensional. Pengembangan shale gas di tanah air baru dimulai tahun lalu dan belum memasuki tahap komersial.

Pengembangan secara luas membutuhkan investor yang cakap di teknologi ini dan menyesuaikannya dengan kondisi geologis kita; kesiapan regulasi yang mendorong investasi tanpa mengorbankan kepentingan nasional; dan visi yang sama di antara instansi pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Bagian terakhir masih menjadi pekerjaan besar dan sering menimbulkan ketidakpastian hukum. Termasuk kemunculan tiga kasus kriminalisasi yang menimpa perusahaan migas, telekomunikasi, dan maskapai penerbangan baru-baru ini. Kasus tersebut disorot investor dalam dan luar negeri karena sudah diekspos media-media internasional. (*)

No comments:

Post a Comment